Semangat “kemajuan” ramai diserukan lewat corong-corong komunikasi pribumi, seperti Al-Moenir dan Darmo Kondo. Dunia Islam dan Barat pun nyatanya sedang bergerak pada arah yang selaras. Ahmad Dahlan ada di dalam arus yang sama. Ia menyerap, memodifikasi, dan beraksi demi kemajuan.
Siti Busyro, anak keempat Ahmad Dahlan-Siti Walidah lahir pada 1903.
Kiai Haji Ahmad Dahlan pulang dari Tanah Suci setelah 18 bulan berhaji dan menimba ilmu di sana.
Lahir anak kelima Ahmad Dahlan-Siti Walidah, bernama Siti Aisyah
Organisasi Jami’yyat Al Khair dibentuk di Batavia pada 1901 oleh para Hadrami. Lima tahun berikutnya organisasi ini berhasil membangun sekolah Islam modern pertama yang diperuntukkan bagi kalangan mereka. Bahkan, turut menggelar majelis diskusi yang membahas reformasi Islam dari Al-Manar.
Konon, dikatakan bahwa Ahmad Dahlan pernah bergabung menjadi anggota Jami’yyat Al Khair pada 1910.
Diceritakan Soedjak bahwa pada 1906 K.H. Ahmad Dahlan mengeluarkan fatwa tentang ziarah. Tradisi ziarah kubur pada waktu itu merupakan perbuatan yang mendekat kepada kekufuran dan kemusyrikan.
Anak keenam dari Ahmad Dahlan-Siti Walidah lahir pada 1907 dan diberi nama Djumhan.
Pada 1908, lahir anak ketujuh Ahmad Dahlan-Siti Walidah, yang bernama Siti Zuharoh.
Berdirinya Budi Utomo pada 1908 menandakan kemunculan organisasi modern berhaluan semangat nasionalisme pertama yang didirikan pribumi.
Budi Utomo segera berkembang dan mendirikan cabang-cabang di luar Batavia, termasuk ke Yogyakarta dan Surakarta.
Ahmad Dahlan berkenalan dengan Budi Utomo melalui Mas Djojosoemarto, Sekretaris BU Yogyakarta. Sejak saat itu Dahlan semakin dekat dengan BU.
Anak kedelapan Kiai Haji Ahmad Dahlan dengan Siti Aisyah, putri Penghulu Ajengan dari Cianjur, lahir dan diberi nama Siti Dandanah
Ahmad Surkati, ulama Sudan lulusan Mesir, tiba di Jawa pada Oktober 1911. Awalnya beliau mengajar di sekolah Jami’yyat Al Khair yang cenderung eksklusif untuk Hadrami.
Pada 1914 ia keluar dari sekolah Jami’yyat Al Khair untuk mendirikan Madrasah al-Irsyad al-Islamiyyah yang lebih inklusif dan organisasi Al-Irsyad.
Oleh karena kesepahaman pemikiran, Surkati dan Ahmad Dahlan menjadi kawan baik, termasuk dengan Muhammadiyah.
Kiai Haji Ahmad Dahlan merintis sekolah Islam modern, bernama Madrasah Diniyah Ibtidaiyah Islamiyah di Kompleks kediamannya
Sidang terbuka pertama sekaligus deklarasi berdirinya Muhammadiyah di gedung bioskop (bioscoop gebouwe) Maliboro pada 18 November 1912.
Kiai Haji Ahmad Dahlan aktif dan menjabat sebagai penasihat bagian keagamaan di Central Sarekat Islam sekitar 1914-1920-an.
K.H. Ahmad Dahlan menggembleng kaum perempuan supaya semakin bertambah pengetahuan dan ilmu agamanya.
Pada 1913 beberapa gadis dikirim ke sekolah pemerintah dan Muhammadiyah. Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Barijah ke Neutraal Meisjeschool Ngupasan. Umnijah dan Munjiah ke Kweekcshool Muhammadiyah. Serta Wakirah ke Kweekschool Gubernemen, dan Asminah ke Normaalschool Gubernemen.
Upaya memajukan perempuan perlahan-lahan dilembagakan menjadi perkumpulan Sopo Tresno hingga bertransformasi menjadi organisasi perempuan Islam bernama ‘Aisyiyah, yang diresmikan pada 19 Mei 1917.
Kiai Dahlan, melalui ‘Aisyiyah menginisiasi pendirian beberapa mushala khusus perempuan di Yogyakarta pada sekitaran 1920-an.
Setelah berhasil mengembangkan sekolah-sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta, Kiai Haji Ahmad Dahlan berinisiasi mendirikan sekolah calon guru, Al-Qismul Arqa’ untuk memenuhi kebutuhan guru di Sekolah Muhammadiyah.
Inisiasi pembentukan gerakan kepanduan dalam Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan, Soemodirdjo, dan Sjarbini (guru Muhammadiyah yg pernah menjadi onder-officier militair). Kemudian, pada 1920, gerakan kepanduan ini resmi bernama Hizbul Wathan atas usul R. H. Hadjid.
Bersama para ulama dan tokoh Islam lainnya, Kiai Haji Ahmad Dahlan bergabung dalam Komite Tentara Kandjeng Nabi Muhammad. Gerakan ini merupakan reaksi atas dugaan hinaan Nabi Muhammadiyah di dalam Djawi Hisworo.
Acara pengajian umum bertema agama sebagai sumber perdamaian (het bindmiddel der menschen) dibawakan Kiai Dahlan di Lodge gebouw, di Surakarta pada 1920.
Ahmad Dahlan menyanggupi permintaan untuk mengajar mata pelajaran agama Islam di Kweekschool Istri Sumber Pucung, Malang. Beliau tidak datang sendiri, melainkan bersama kawan perempuannya dari Yogyakarta.
Kiai Haji Ahmad Dahlan melakukan pelelangan barang-barang pribadinya pada sekitar 1922, seperti meja, bangku, dan jam. Lelang ini dimaksudkan untuk menambah dana guna membayar gaji guru yang menunggak.
Ahmad Dahlan mengomentari pidato Pastor Zwijmer yang dianggap menyalahpahami ajaran Islam. Berita tentang isi pidato Zwijmer maupun balasan Kiai Dahlan ramai ditulis dalam surat-surat kabar tahun 1922.
Kesehatan Kiai Haji Ahmad Dahlan mulai sering terganggu, akibatnya, beliau mulai absen hadir dalam rapat Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Suatu saat pada 1923 beliau memutuskan untuk pergi tetirah ke Tretes, Jawa Timur.
Pada Jumat malam, 23 Februari 1923 M atau 7 Rajab 1341 H, Pukul 11.45, KH. Ahmad Dahlan menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah disemayamkan di langgar miliknya, keesokan harinya, beberapa pejabat tinggi dan orang-orang besar di Yogyakarta turut melayat, sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman Karangkajen.